SUSAH SINYAL
SUSAH SINYAL
Kecintaannya pada profesi bidan tumbuh semenjak sang kakak menjadi seorang bidan. Ismiatul Khoiriyah menuturkan perjalanannya menjadi seorang bidan karena melihat keseharian sang kakak. “Setelah saya lulus SMA saya memilih sekolah bidan. Kebetulan kakak saya nomor pertama menjadi bidan sedangkan nomor dua seorang perawat,” ungkapnya. Sehingga saat di bangku sekolah ia tidak mengalami kendala. Hal ini karena motivasi dari kedua kakaknya sebagai tempat bertukar pendapat.
Anak terakhir dari tiga bersaudara ini mengawali profesi sebagai bidan di Puskesmas Sadang, Kebumen. Sebagaimana kita ketahui, kondisi geografis Kecamatan Sadang berupa pegunungan, perbukitan dan berada di lembah sungai Luk Ulo. Tahun 2004 menjadi awal tonggak sejarah pengabdiannya menjadi bidan. “Saya ingat sekali perjalanan ke Puskesmas Sadang memakan waktu hingga 2 jam,” tuturnya. Kehabisan ongkos pernah ia rasakan karena menggunakan jasa ojek dapat menghabiskan uang sakunya hingga Rp 50.000,-. Saat itu ia belum memiliki kendaraan pribadi sehingga mengandalkan angkutan umum. Hal yang paling menyebalkan menurutnya harus menunggu penumpang. “Saat itu saya masih belum berkeluarga dan tinggal di Sruweng sehingga apa pun saya lakukan agar sampai ke Puskesmas tepat waktu,” imbuhnya.
Alumni Poltekes Kemenkes Semarang ini bercerita saat awal tahun 2004 ia pernah menghadapi proses persalinan secara bergantian. “Saat itu malam hari ada beberapa ibu yang harus bersalin saat itu juga,” kenangnya. Proses persalinan saat itu masih bisa di lakukan di rumah. Untuk menuju ke lokasi rumah pasien melewati medan yang terjal. Masih teringat jelas dalam ingatannya ia harus menyeberangi sungai Luk Ulo dan Sungai Loning. “Saat itu belum di bangun jembatan di Kecamatan Sadang sehingga akses menuju rumah pasien harus menyeberang tidak ada transportasi di malam hari,” ungkapnya. Hal biasa baginya harus membawa pakaian ganti karena melewati kedua sungai tersebut. Awalnya ia mengaku takut namun keberaniannya semakin terasah saat menjadi bidan di Puskesmas Sadang. “Pada saat itu sungai di Kecamatan Sadang belum sedalam saat ini,” imbuhnya.
Kenangannya kembali muncul, sembari tertawa ia mengenang betapa sulitnya mendapat sinyal handphone. “Dulu kita sangat sulit mendapat sinyal handphone. Sering kita mengetik pesan baru terkirim saat kita ke lokasi lain,” kenangnya. Teman-temannya memaklumi jika ia sulit dihubungi karena kondisi saat itu masih belum sebaik saat ini. Sehingga ia harus segera menyelesaikan berbagai tugas karena kendala sinyal tersebut.
Setelah mengabdi selama 13 tahun di Puskesmas Sadang, ia kemudian bergabung dengan Puskesmas Pejagoan. Sejak tahun 2017 ia dipercaya menjadi bidan desa Watulawang, Pejagoan. Peristiwa longsor Maret tahun lalu sangat berkesan di hatinya. “Awal Maret tahun lalu akses jalan ke Desa Watulawang terputus karena longsor. Saat longsor jalan sangat sulit dilewati mobil sehingga saya dengan motor lalu minta di jemput warga,” kenangnya. Warga Desa Watulawang saat itu bahu membahu agar akses jalan dapat kembali di gunakan. (the wish)